Renungan Ramadhan: Tipisnya Jurang Syukur dan Sombong
- Periko Putra
- Jul 1, 2014
- 3 min read
Cerita ini saya dapat dari seseorang yang saya kenal. Beliau bercerita, konon katanya suatu ketika seorang Ulama yang sangat terkenal sedang beristirahat sambil duduk di sebuah pohon yang rindang. Dalam dirinya sang Ulama berkata “Alhamdulillah, walaupun saya tidak punya banyak uang, walaupun saya tidak kaya raya seperti orang lain, tapi berkat ilmu yang saya miliki ini sebagai seorang ulama, setiap orang yang datang bertanya, menanyakan hukum agama, syariah dan sebagainya semuanya mampu saya jawab. Saya bersyukur sekali terhadap ilmu yang saya miliki ini sehingga dapat membantu banyak orang”.
Tidak lama setelah sang ulama berkata demikian, tiba-tiba datanglah seorang anak kecil menghampiri dia. Sang anak menyampaikan maksud dan tujuannya menemui sang ulama yaitu untuk menanyakan suatu perkara. Sang ulama mempersilahkan si anak kecil untuk mengajukan pertanyaan dengan mengumbar senyum. “Begini tuan, saya memiliki seekor anjing yang telah saya rawat sejak kecil, saat ini anjing tersebut telah remaja. Tapi saya bingung tuan, bagaimana saya bisa tahu bahwa anjing ini telah mengalami Akhil Baligh atau belum”. Sang Ulama terperanjab mendengar pertanyaan si anak kecil. Sambil berfikir keras, sang ulama mencari jawaban atas pertanyaan si anak kecil. Namun, dia tidak kunjung tahu jawaban pertanyaan tersebut. Akhirnya, sang ulama meminta kepada si anak kecil untuk memberinya waktu seminggu dan berjanji mencari tahu jawabanya.
Tiba pada waktu yang telah ditentukan, sang ulama tidak kunjung jua menemukan jawaban pertanyaan si anak kecil. Dia semangkin khawatir tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pada saat berfikir di pohon yang sama dengan tempat yang dijanjikan untuk bertemu dengan si ank kecil itu, tiba-tiba saja datang seorang anak kecil lain menghampiri sang ulama. Sang ulama merasa ketakutan jangan-jangan si anak kecil ini juga datang untuk bertanya pertanyaan yang sulit dan dia juga tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut sama seperti si anak kecil sebelumnya.
Ternyata si anak kecil yang satu ini datang bukan untuk bertanya tapi sekedar bercerita. Sang ulamapun sedikit merasa lega. Lalu si anak kecil kedua ini bercerita tentang anjingnya juga sama seperti anak kecil pertama. “Tuan, sepertinya anjing anjing saya ini sudah Akhil Baligh”. Sang ulama terkejut, inilah pengetahuan yang dia butuhkan. Buru-buru dia menimpali, “Bagaimana kamu tahu bahwa anjingmu telah akhil Baligh” tanya sang ulama. “ Saat buang air kecil anjing ini telah mengangkat salah satu kakinya Tuan” Jawab si anak.
Setelah becerita cukup lama, si anak kecil pamit untuk pergi. Sang ulamapun merasa senang karena akhirnya dia tahu jawaban atas pertanyaan anak kecil pertama. Tidak berapa lama si anak kecil pertama datang dan menagih janji sang ulama. Akhirnya sang ulama memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Begitulah sebuah kisah yang bisa memberikan pelajaran terhadap kita. Sang ulama yang yang memiliki ilmu tinggi, yang dalam syukurnya tampa disadari memiliki benih-benih sombong, ternyata Allah mengajarkan kepadanya sebuah ilmu melalui anak-anak kecil. Allah menunjukan kepadanya bahwa sebagai manusia biasa tidaklah seharusnya kita memiliki perasaan lebih hebat dari orang lain. Seorang ulama besar, yang memilki pengetahuan luas, ternyata takluk oleh seorang anak kecil. Bahkan Allah mengajarinya kembali melalui anak kecil yang lain.
Lalu kita, bukan siapa-siapa, sudahkah kita menghilangkan perasaan lebih hebat dari orang lain karena kita kaya, pejabat, orang berpendidikan tinggi, tokoh masyarakat, mahasiswa, akademisi, ulama, pedagang, buru, tani atau siapapun kita. Masih pantaskah kita menyombongkan diri? Kadang dalam syukur saja kita masih tidak menyadari ada sifat sombong dalam diri.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari setiap kesalahan.
Periko Putra © 2014
Comments