top of page
Search

Diktator Mayoritas dan Etika Politik

  • Writer: Periko Putra
    Periko Putra
  • Oct 3, 2014
  • 2 min read

Belakangan ini suhu politik Indonesia kembali memanas. Dimulai dengan pengesahan RUU pilkada yang memenangkan opsi pilkada lewat DPRD, dan yang terbaru adalah pemilihan paket pimpinan DPR periode 2014-2019. Dalam RUU pilkada, tidak diterimanya usulan Demokrat untuk opsi ketiga dimana menginginkan pilkada langsung dengan perbaikan dan menawarkan 10 syarat menunjukan bahwa kepentingan masing-masing kelompok untuk memaksakan kehendak melebihi kepentingan bangsa. Koalisi Indonesia Hebat yang digalang PDIP menginginkan pilkada langsung, namun dalam lobi-lobi justru tidak sepakat dengan fraksi Demokrat. Tetapi anehnya, ketika akan dilaksanakan voting justru mendukung usulan Demokrat. Sebaliknya, Demokrat yang sudah terlanjur kecewa memutuskan walkout. Tinggallah seolah-olah PDIP pahlawan dimata masyarakat, tentu akan dielu-elukan dan mengangkat nama partai. Inilah yang namanya sedang membangun citra. Sebaliknya, koalisi Merah Putih tetap pada keyakinan pilkada dilaksanakan lewat DPRD. Tentu mereka sangat yakin menang karena suara mereka mayoritas, apalagi Demokrat yang sebelumnya memiliki opsi tersendiri akhirnya memilih walkout. Jadilah RUU tersebut diputuskan sesuai suara mayoritas di DPR, yaitu opsi pilkada lewat DPRD walaupun opsi ini mendapat tentangan dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Seperti yang kita ketahui koalisi merah putih kalah dalam Pilpres namun menguasai sebagian besar parlemen pusat dan daerah, sehingga akan memudahkan jalan mereka terhadap nafsu kekuasaan.


Dalam pemilihan pimpinan DPR periode 2014-2019 yang dilaksanakan tanggal 1 Oktober 2014, koalisi Merah Putih kembali berjaya. Seluruh unsur pimpinan dikuasai kelompok mereka minus 1 dari Demokrat. Aneh memang, ketika PDIP sebagai pemenang pemilu justru tak kebagian apa-apa. Logika apa yang dipakai sehingga diktator mayoritas mengalahkan etika politik. Tidak ada yang salah memang, namun tetap saja tak sesuai hati nurari. Hal ini sepertinya sesuai dengan skenario awal pembentukan UU MD3. Kalau dalam aturan sebelumnya pemenang pemilu otomatis menjadi ketua DPR, namun dalam UU MD3 tidak. Pimpinan DPR dipilih berdasarkan kesepakatan anggota dewan dengan mengajukan paket. Terbukti kelompok mayoritas yang berbagi kue kekuasaan yang digalang koalisi Merah Putih menang lagi.


Lucu sekali wakil rakyat ini. Sekian banyak undang-undang yang dibahas dan disahkan, tetapi jika undang-undang itu menyangkut kekuasaan dan kepentingan, segala upaya diupayakan untuk memenuhi hasrat berkuasa. Ada yang memainkan citra, seolah-olah pahlawan dimata masyarakat. Disini lain, kelompok seberang memaksakan kehendak dengan bersepakat bersama-sama dengan kepentingan yang sama untuk merebut kekuasaan. Siapa yan dirugikan? Lihatlah hasilnya, sebagian besar rakyat masih menginginkan pilkada langsung tentu dengan perbaikan dipaksa untuk dihilangkan hak politiknya dengan pilkada lewat DPRD. Ditambah lagi terpilihnya ketua DPR yang baru yang sering dikait-kaitkan dengan kasus korupsi karena sering diperiksa KPK.


Dulu Gusdur berucap, anggota DPR seperti anak-anak TK. Tapi pertanyaannya, apakah anak-anak TK rela disama-samakan dengan anggota DPR, seperti kata Sudjiwo Tedjo? :D


Periko Putra ©2014

 
 
 

Comments


  • Wix Facebook page
  • Wix Twitter page
  • Wix Google+ page
  • YouTube Classic
Featured Posts
Recent Posts
Search By Tags
Ikuti saya
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square

Official Site of Periko Putra  © 2014-2016 All Rights Reserved

bottom of page